Blog
Pesan Kuratorial
Impunitas itu Sementara, Seni itu Selamanya
Saya percaya setiap orang berhak bicara tentang HAM atau Hak Asasi Manusia. HAM adalah hak yang dimiliki oleh semua orang sejak mereka lahir, termasuk hak untuk berpendapat dan berekspresi tanpa memandang usia, ras, kelas ekonomi, pendidikan dan status mereka. Artinya setiap orang punya hak untuk berproses dalam memahami dan mengaplikasikan HAM dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya narasi HAM di Indonesia masih terasa berjarak karena selama, sebagaimana kita lihat, suara tentang HAM hanya dari kalangan yang itu-itu saja. Terlebih lagi kalau kita mau bicara jarak antara para korban kekerasan HAM masa lalu dan kita yang hidup di Indonesia saat ini, termasuk anak mudanya. Semakin besar saja jaraknya kemudian yang terasa.
Belum lagi setiap membaca kalimat, “Sebagai anak muda harapan bangsa…,” yang selalu membuat saya cringe karena bangsa ini kondisinya jauh dari ideal, apalagi kalau sudah berhubungan dengan perlindungan terhadap hak asasi warga negaranya sejak dulu hingga sekarang. Lalu bagaimana dengan pemahaman anak muda tentang menjadi bagian dari bangsa Indonesia hari ini? Karena diri kita sekarang adalah bentukan dari masa lalu, yang artinya secara langsung maupun tidak kita juga mesti mau mengakui bahwa masa lalu bangsa ini tidak hanya dibangun dari cerita pencapaian belaka, tapi juga banyak kegagalannya. Karena menjadi bangsa yang besar menurut saya bukan sekedar dengan mengenang jasa para pahlawan saja, namun juga mengakui kesalahan dan mau bertanggung jawab atas kesalahan tersebut. Sehingga kita tidak seperti memberi kucing dalam karung saat memberikan tanggung jawab kepada anak muda untuk membangun bangsa ini di masa depan.
Proyek Humanityouth, menurut saya, adalah salah satu upaya agar anak muda tidak seperti mendapatkan kucing dalam karung itu. Mereka dipertemukan langsung dengan para korban dan penyintas kekerasan HAM masa lalu hingga masa kini. Saat anak muda mendengar dan mendokumentasikan cerita para korban dan penyintas, mereka sedang menjalin hubungan baru dengan manusia lain yang jaraknya dengan diri mereka tidak cuma soal usia dan masa, tetapi tentu saja perjalanan hidupnya. Mereka seperti sedang merasakan langsung sisi bangsa Indonesia yang pahit, sakit dan sama sekali tidak instagrammable. Tapi dunia nyata memang biasanya lebih jujur daripada dunia maya, bukan? Hidup dalam dua dunia setiap saat mestinya tidak lantas membuat anak muda otomatis apatis, individualis dan hanya hidup untuk hari ini saja. Karena pada kenyataannya, semakin banyak keragaman dan pilihan yang diberikan oleh dunia maya dan nyata di ujung jari mereka, semakin besar juga kemampuan mereka terasah untuk bisa memilah mana yang bisa dipercaya dan mana yang tidak. Saya percaya mereka bisa melakukan itu, tapi yang lebih penting kita harus memberi dulu kepercayaan itu pada mereka.
Karena ini bukan kompetisi tapi kemitraan untuk bekerja bersama, anak muda bisa jadi lebih muda secara usia namun bukan berarti tidak bisa memberi pelajaran kepada kita. Berikan ruang buat mereka berjalan sendiri dan bila jatuh ya dibantu berdiri lagi, bukan malah disyukuri. Jadilah dua orang dewasa yang saling percaya bahwa ini semua pada akhirnya akan ada hasilnya, walau tidak langsung terjadi di depan mata. Kita mesti percaya bahwa mereka dengan semua kelebihan dan kekurangannya bisa dan layak untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan sesuai dengan peran dan cara yang mereka pilih sendiri. Toh katanya ada banyak jalan menuju Roma, kan?
Di dalam Humanityouth, kepercayaan inilah yang diberikan kepada setiap anak muda yang terlibat, baik sebagai fasilitator proses maupun seniman yang membaca hasil proses. Ada berbagai jarak tentu saja yang kami rasakan dari perspektif fasilitator dan seniman dengan tiga topik yang kami bicarakan dalam Humanityouth. Bagi para seniman, ruang yang diberikan untuk belajar sangatlah luas dan beragam bentuknya, termasuk mempelajari sebuah metode yang menariknya lebih terasa sebagai pembuatan karya visual dan instalasi oleh individu maupun kelompok daripada kerja berbentuk riset. Para anggota tim fasilitator juga membuat presentasi karya dari hasil pengumpulan cerita yang sudah mereka lakukan selama ini, untuk disandingkan dengan dengan karya para seniman. Hasil pengumpulan cerita oleh para fasilitatorlah yang kemudian diinterpretasikan oleh seniman dalam karya-karyanya.
Bicara tentang karya seniman, jarak yang sudah jelas adalah tidak ada satupun seniman yang mengusung topik Anak yang Dicuri dari Timor-Leste yang merupakan korban dari, atau setidaknya berelasi dengan, topik tersebut. Ketiga seniman yang kebetulan semuanya bekerja sebagai kelompok, Toma & Kako, Fat Velvet dan Bombo, memilih fakta yang berbeda-beda dari topik tersebut, namun menariknya kemudian mereka mampu menciptakan sebuah rangkaian kisah yang runut tentang kehidupan para Anak yang Dicuri sejak mereka pertama kali tiba di Indonesia hingga sekarang mereka dewasa dan memiliki bentuk kehidupan yang baru di Indonesia. Lewat karyanya, Bombo menceritakan saat anak-anak tersebut baru mendarat di Makassar dan dipekerjakan menjadi buruh kasar di berbagai lokasi di sana. Lalu disambung dengan Fat Velvet yang mengambil perspektif kejiwaan di mana umumnya anak-anak yang tercerabut dari tanah kelahirannya di usia muda belum memiliki identitas yang utuh sehingga mereka cenderung beradaptasi berlebihan di lingkungan barunya untuk membangun identitas mereka saat dewasa. Dan terakhir Toma Kako, yang membuat karya menyuarakan doa-doa yang dipanjatkan oleh para Anak yang Dicuri dan orang tua mereka untuk datangnya hari di mana mereka akhirnya bisa pulang dan dipertemukan kembali di tanah kelahirannya. Untuk topik 1965 ada Deny Renanda Putra dari Semarang, yang sudah pasti berjarak karena usianya, tapi ternyata Deny mengalami sendiri waktu masih di Sekolah Dasar soal adanya lontaran kata PKI yang diberikan kepada siswa yang tidak ikut upacara bendera dan sembahyang. Fakta inilah yang membuat karyanya bicara tentang pengulangan bentuk kekerasan yang terus berlanjut dari topik 1965. Sementara itu, perdagangan orang bukanlah topik dari masa lalu karena kita semua tahu sampai hari ini perdagangan orang masih terus terjadi dalam berbagai bentuk dan konteks yang berbeda-beda di Indonesia. Armin Septiexan tinggal di Kupang, yang mana kasus perdagangan orang adalah sesuatu yang umum karena banyaknya tenaga kerja migran yang berasal dari sana. Walau ia sendiri sudah terlibat dengan kerja-kerja kemanusiaan dalam konteks itu, ia masih kerap terkejut dengan besarnya dampak negatif yang dialami oleh korban bahkan keluarganya setelah mereka kembali pulang. Dari ketiga topik ini juga terlihat bahwa kekerasan HAM yang terjadi dan diangkat dalam Humanityouth tidak hanya terjadi di masa lalu namun masih terus terjadi hingga saat ini.
Untuk sebuah upaya agar bisa lepas dari impunitas yang sudah terjadi begitu lama dan mengakar di Indonesia, sudah semestinya media yang dipilih untuk menumpasnya haruslah berusia lebih lama dari impunitas itu sendiri. Seni, di mana di dalam proyek Humanityouth ini kami memilih seni dalam bentuk karya audio visual. Bentuk ini dipilih karena selain sebagai sebuah produk, minat dan ketertarikan publik khususnya anak muda terhadap bentuk media ini paling besar saat ini. Tentu saja kami juga sadar adanya masalah akses untuk mendapatkan dan menikmati produk audio visual yang membutuhkan perangkat pendukung seperti alat, teknologi, pulsa telepon dan listrik yang belum tentu juga kepemilikannya merata di Indonesia. Ditambah dengan hasil akhir karya setiap seniman yang bisa jadi bukan sebuah bentuk ekspresi yang mudah ditangkap maknanya oleh publik yang melihatnya, namun setidaknya kami ingin juga publik melihat betapa beragamnya cara dan perspektif untuk bicara tentang HAM saat ini.
Saya percaya bahwa semakin beragam bentuk kerja-kerja kemanusiaan yang kita lakukan setiap hari, semakin beragam orang-orang yang terlibat, semakin besar pula dampaknya untuk kita semua bisa lepas dari impunitas suatu hari nanti.
Ika Vantiani
Kurator