“Hah, belom. Itu emang siapa?”
“Lah itu yang biasa nganter mie ayam.”
Dear diary,
kala senja mulai menampakkan jati dirinya, diriku bergeming menatap lurus ke arah kursi kosong yang aku berani bertaruh bantalannya masih sangat hangat. Seorang laki-laki yang hampir menyentuh usia paruh baya baru saja beranjak dari kursi tersebut untuk pulang dengan motor yang menjadi kendaraannya sehari-hari. Namanya Robert da Silva—atau biasa dipanggil Pak Robert—seorang penjual mie ayam lezat yang berjualan di Tebet Barat tepat di depan toko kosmetik yang biasa kukunjungi untuk membeli perlengkapan ‘tempur’ku.
Hau kaer metin o tais rohan
Wainhira sira mai
Militar ida dehan “Lori ida nee”
Hau hanoin ba eskola
Parasnya yang manis khas wajah orang-orang Timor membuatku kerap tersenyum melihatnya. Kedua maniknya terlihat sangat bersemangat kala menjelaskan bagaimana proses pembuatan Mie Ayam lezat yang ia terus banggakan. Ia begitu mencintai pekerjaannya yang menjadi tempatnya bergantung hidup. Namun percayalah, sorot kelereng itu tidak akan terlihat berbinar kala ia menceritakan masa lalunya yang begitu pahit. Tiap teman-temanku mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyenggol masa lalunya, tangannya terus sibuk bermain dengan telepon yang sebenarnya tak bernotifikasi.
Husi kareta laran
Hare o mata-wen suli
Tinan tolu-nulu liu neneik
Maibe ohin hau…
Siapa yang sangka laki-laki yang sekarang menjadi wirausaha ini adalah satu dari ribuan anak yang diculik dari Desa Aflikai di Distrik Viqueque pada masa konflik Indonesia-Timor Leste tahun 1975-1999 yang disebut dengan ‘Stolen Children’? Siapa yang menyangka dibalik senyumnya yang lebar terdapat kepaitan masa lalu yang masih tersimpan dengan rapi dalam benaknya? Tidak akan ada yang menyangka bahwa ia adalah seorang korban pelanggaran HAM masa lalu, sungguh. Apabila ada yang bertanya kepada Pak Robert perihal darimana ia berasal, ia biasa berkata bahwa ia berasal dari Ambon. Ia tidak terlalu ingin banyak orang yang mengetahui bahwa ia berasal dari Timor Leste. Mengapa? Karena mengingat kehidupan yang terjadi di masa lalunya bukanlah kegiatan yang ia sukai.
Tau iha ro laran hakur Taxi
Husik hau uma full
Ema sira hanesan laran diak mai hau
Maibe Laran taridu wainhira nakukun
Menjadi salah satu Tenaga Bantuan Operasional untuk Tentara Indonesia bukanlah suatu kebanggaan untuk Pak Robert kecil yang diambil sejak kelas 4 SD sekitar tahun 1986/1987. Hidup di Bali bersama dengan salah satu tentara Kompi 745—juga bukanlah suatu kenangan yang membuat senyum merekah di wajahnya. Berada di sebuah Panti Asuhan di Bali juga bukan suatu hal yang membuatnya senang seperti kita yang selalu senang ketika berlibur ke Bali. Masa lalunya terlalu rumit dan pahit. Masa kecilnya sangat berbeda dengan masa kecilku yang dipenuhi oleh kebahagiaan yang terus dicurahkan oleh keluargaku. Pak Robert dipisahkan secara paksa dari keluarga. Kebahagiaannya direngut, masa kecilnya dirampas. Apa yang ada di dalam pikiran para pejabat negara, ABRI, siapapun yang membawa anak-anak Timor-Timur pada saat itu?! Bisa-bisanya mereka melakukan kejahatan seperti ini tanpa merasa bersalah. Bisa-bisanya negara tidak bertanggung jawab atas ribuan nyawa anak yang diculik dari tanah Timor.
Mamamama, mai foti hau
Keta husik hau mesak
Hakuak hau, mai salva hau
Hau Hakarak
Aku marah, marah kala mendengar cerita Pak Robert. Aku marah kepada negara Indonesia walaupun Pak Robert tahun 2016 pada akhirnya kembali ke Tanah Timor untuk bertemu dengan keluarganya selama 3 dekade terpisah dengan beberapa korban lainnya. Aku mengecam negara Indonesia—seperti biasa—atas kondisi Pak Robert saat ini, kondisi para anak yang diculik saat masa konflik tersebut. Kondisi anak yang dijadikan sandera yang selanjutnya dijadikan oleh Tenaga Bantuan Operasional, ‘diadopsi’ oleh mereka yang bertugas untuk menghancurkan wilayah Timor dan menjadikan para anak sebagai Pembantu Rumah Tangga, dijadikan pekerja kasar, tidak disekolahkan, ditelantarkan, diganti namanya, bahkan diganti paksa kepercayaannya agar tidak mengingat Timor Leste lagi.
Dok tebes ‘ha tasi balun
Suli hau isin no fuan ran Timor
Labarik lakon, Feto no mane
La’o namkari, laiha lian
Kemarahan ini membuatku semakin yakin bahwa apa yang kukerjakan, apa yang kuperjuangkan bersama dengan teman-teman AJAR dan mitra adalah perjuangan menuju kebenaran. Aku semakin bersemangat untuk mencari dan menggali lebih dalam fakta-fakta dari kasus ‘Stolen Children’ yang masih menjadi kasus yang tidak terlalu digubris oleh publik. Aku semakin bersemangat untuk membumikan isu yang menyakitkan ini sehingga kedepannya masyarakan Indonesia tahu bahwa negaranya yang kerap dibangga-banggakan adalah pelaku penculikan dan pelaku praktek perbudakan yang bersifat Internasional, dan belum mengakui kesalahannya.
Loron lao kalan mos lakon
Lori aifunan ba mutun
Teki-tekir inan feton mosu lori lia Menon
Nia hetan hau
Sang senja telah meredup, kalah oleh temaram malam. Satu persatu teman-temanku pamit undur diri untuk pulang ke rumah membawa cerita dari Pak Robert, cerita yang aku percaya tidak akan pernah dilupakan seumur hidup mereka. Cerita yang akan selalu menjadi alasan mengapa mereka ada bergerak dalam kerangka hak asasi manusia. Cerita yang akan terus memotivasi mereka untuk bertemu dengan penyintas lainnya, mendokumentasikannya dengan baik, serta membumikan isu ini hingga seluruh penjuru dunia tahu bahwa kasus ‘Stolen Children itu ada dan korbannya tidak hanya satu, dan tidak hanya di Indonesia dan Timor Leste.
Mama husik nia aan fiar
Katak lia los bele mosu
No milagre mos
Mama, hau ‘ha dalan
Fila ba uma
Fila ba hau moris fatin
Hau fila ba uma
Fila ba hau horik fatin
Timor Lorosae
—————————-
Thank you for blessing us with this beautiful song
Labarik Lakon – Jovie Guterres