Blog

Blog

Karena Tertawa Belum Dilarang: 8 Cerita Humor Tapol G30S oleh Pak Bambang Soekotjo, Nomor 9 Paling WOW!

Pernahkah anda berimajinasi hidup dalam sebuah rezim yang sangat-sangat kejam, sampai tertawa saja anda dilarang? Mungkin novel George Orwell yang berjudul 1984 bisa menjadi gambaran mengenai rezim intelektual yang tidak hanya menghegemoni ide dan merepresi tubuh, namun juga mengekang hasrat dan menahan urat di wajahmu untuk tidak tertawa.

Indonesia pernah hidup dalam suatu rezim kelam bernama Orde Baru. Rezim ini jelas sangat mengerikan, gagasan dan fisik ditindas. Apakah tertawa dilarang juga? Untungnya tidak sama sekali. Harry Roesli masih sempat manggung keliling Indonesia bermodal Opera Ken Arok-nya yang kritis namun menggelitik, meski kemudian dicekal pemerintah. Atau beberapa cerpen Jujur Prananto yang diam-diam menyindir pemerintah namun masih bisa dipublikasikan kesana-kemari.

Kondisi demikianlah yang menyebabkan para tapol Orde Baru masih bisa menghibur dirinya dalam nestapa penjara. Mereka memaknai ulang penderitaan itu menjadi suatu humor. Lucu namun haru, geli namun pahit. Tentunya saya tidak bermaksud untuk merendahkan penderitaan mereka. Kejahatan yang menimpa mereka pada masa lampau tetap harus mendapatkan keadilan. Dari humor, mereka bertahan dan saling menguatkan, melintasi abad.

Pada kunjungan tim Humanity Semarang ke Pati awal Mei lalu, hari terakhir kita gunakan untuk mengunjungi Pak Bambang Soekotjo. Dia mengalami rangkaian buang-bui sejak tahun 1966, dimulai dari Benteng Pendem Ambarawa, Nusakambangan, sampai terakhir di Unit 4 Savana Jaya Pulau Buru. Saya mula-mula berpikir, ini orang gila! Bagaimana tidak? Setelah mengalami penderitaan yang begitu mengerikan, menjadi tahanan politik Orde Baru, dia masih bisa menertawakan penderitaannya. Di sela-sela dia bercerita perihal kehidupannya, selalu disisipi cerita lucu yang sebenarnya adalah penderitaan dari para tapol. Dia bercerita dengan santai sambil tertawa, kami pun juga turut tertawa.

Jadi, ini sebagian kisah Pak Bambang yang dituturkan kepada kami:

1. Menjadi tapol 65 berarti harus siap menderita karena kelaparan. Saat di Nusakambangan, para tapol mendapat jatah makanan bubur kacang hijau. Para tapol menamainya Bubur Gatotkaca. Kok bisa? Karena setiap kali mau mengambil bubur menggunakan centong, kacang hijaunya “melayang-layang” tidak mau masuk ke centong, “terbang” seperti Gatotkaca. Memang sial, kacang hijaunya terlampau sedikit dibanding kuahnya yang banyak!

2. Seseorang tapol sudah sangat berhasrat untuk merokok, namun tidak ada rokok di dalam penjara. Pada akhirnya, meraciklah dia rokoknya sendiri. Tembakau tidak ada, bunga mawar gantinya, kertas bisa pakai apa saja, dan jangan lupa garam. Untuk apa? Untuk menimbulkan efek suara plethikan kalau rokoknya dihisap, seperti suara tembakau terbakar.

3. Di Nusakambangan, para tapol hidup berdampingan dengan narapidana dan juga para petugas penjara. Para petugas penjara ada yang hidup bersama keluarganya dan mempunyai anak. Jika anak-anak sekarang lebih memilih main gawai, atau anak-anak sepantaran saya dan yang lebih tua lagi lebih memilih main gobak sodor atau petak umpet, anak-anak di Nusakambangan lain cerita. Mereka bermain tapol-tapolan! Di antara mereka pasti ada yang pura-puranya menjadi tentara, dia akan membentak dan pura-pura memukul temannya yang berperan menjadi tapol. Mereka yang berperan jadi tapol akan diborgol tangannya dan diarak, persis seperti tapol. Pak Bambang sendiri mengaku pernah melihatnya sekilas. Ngeri nggak sih? Ngeri euy!

4. Kalau kamu lapar, pasti emosi akan lebih susah dikendalikan, benar nggak? Kalau aku sih iya, hehe. Nah, suatu ketika, ada orang tapol yang lagi berkelahi karena alasan yang tidak jelas, dalam kondisi lapar. Mereka berkelahi tetapi tidak kuat. Tiap kali mau memukul, tangannya tidak sampai-sampai karena badannya sudah lemas lebih duluan.

5. Pak Bambang pada akhirnya sampai Pulau Buru. Di sana, para tapol membuka sawah untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Tentara dari Kodam Pattimura berbeda dengan tentara dari Kodam Diponegoro atau dari Jawa pada umumnya. Mereka tidak paham tata cara bertani di sawah. Suatu ketika, para tapol mau mengambil benih untuk ditanam di sawah (benih padi sudah berbentuk seperti tunas padi dengan tinggi sekitar 5 sampai 10cm). Untuk mengambil benih, tentu benih itu harus diambil untuk dipindahkan ke sawah. Yang terjadi kemudian adalah, mereka dipukuli para tentara, dikiranya mau sabotase dengan mencabut padi-padi. Padahal padi-padi kecil itu masih benihnya.

6. Masih tentang pertanian di Pulau Buru. Di sawah pasti ada yang namanya galengan atau pematang sawah. Pematang sawah harus keras supaya air tertahan. Supaya keras, pematang harus diinjak-injak. Para tapol kena damprat tentara karena lagi-lagi dikira mau sabotase. Hadeh, dasar tentara!

7. Representasi dari Bhineka Tunggal Ika ya di Pulau Buru. Di sana, semua tapol memiliki latar belakang yang berbeda-beda, termasuk agama. Di Unit 4, para tapol adalah “PKI golongan B”. Wah, bagi Orde Baru, mereka masuk golongan yang “seram-seram”. Tahu maksud dari istilah PKI golongan B? Itu adalah singkatan dari agama-agama yang dianut para tapol di Unit 4, antara lain: Protesetan, Katolik, Islam, dan Buddha. Jadilah, PKI golongan B. Yang kasih nama itu siapa? Ya para tapol sendiri!

8. Pada tahun 1972, beberapa keluarga tapol didatangkan dari Jawa untuk turut tinggal di sana. Ini terjadi di Unit 4. Sebagian dari mereka sudah memiliki anak. Pak Bambang sendiri masih lajang. Anak-anak yang dibawa atau lahir di sana memiliki julukan yang diberikan oleh para tentara: ADIDAS. Wah keren ya seperti merek sepatu mahal itu. Padahal, kepanjangannya adalah… anak didik dalam sengsara.

 

***

 

9. Bonus cerita dari Bung Muchram:

Suatu ketika di Pulau Nusakambangan, para tapol yang kelaparan melihat ada rombongan tapol lain yang pulang. Rombongan tapol ini dari divisi pertanian. Samar-samar, mereka yang di dalam penjara melihat para tapol divisi pertanian menggotong keranjang besar. Bayangan mereka yang di dalam penjara, wah ini mereka pasti berhasil menangkap celeng (babi hutan), pesta besar untuk nanti malam. Apes, ternyata itu adalah Bung Muchram yang sedang tak sadar diri.

Nah, ceritanya begini. Bung Muchram saat itu ditempatkan di divisi pertanian yang tugasnya menanam dan menyirami tanaman pangan. Suatu ketika, dia melihat ada jamur banyak sekali. Karena saking laparnya, dimakanlah jamur itu dengan cara dipepes.Glebak, Bung Muchram terkapar alias keracunan (kalau anak sekarang nyebutnya ngetrip). Untung temannya ada yang melihat, lantas membawanya pulang ke penjara. Katanya Bung Muchram, enak, tapi hampir mati.

*Dengan narasi yang berbeda, cerita mengenai humor seputar tapol pernah ditulis dalam sebuah artikel di Mojok pada tahun 2015 dengan judul “Mati Ketawa ala Tapol 65” oleh Tri Agus S Siswowiharjo.

Ungaran, 16 Mei 2019