Sebuah screenshoot pesan Whatsapp masuk atas nama Bowo.
“Aduuuuh”
“Atiku remuk”
Screenshoot dari anak Eko Sutikno membawa kabar duka yang begitu cepat. Babe, sapaan akrab Eko Sutikno, meninggal pada 12 Desember 2018. Dua hari sebelumnya, saya mendapat kabar bahwa Babe sedang sakit. Pada tanggal 11 Desember, saya dan Bagas berencana untuk bezoek Babe di RSUD Kendal pada tanggal 12, namun nasib berkata lain. Rencana bezoek berubah jadi melayat. Saya berangkat bersama Bagas, Hilya, dan Susi. Secara singkat, Babe adalah salah satu penyintas 65 yang pernah diasingkan ke Pulau Buru. Dia pernah satu unit bersama Pramoedya Ananta Toer.
Setelah disholatkan, keranda diusung dan dimasukkan ke dalam ambulance untuk kemudian diantarkan ke pemakaman. Saya dan kawan-kawan tidak turut, karena hujan turun deras sejak prosesi sholat. Saya baru sadar, ada sosok tua yang mengenakan setelan laiknya seorang veteran, berkacamata besar, dan rokok kretek yang mengepul. Usianya saya taksir 70-an, namun tidak dengan semangatnya. Dia begitu bersemangat berbincang-bincang dengan beberapa orang. Saya lantas pulang dengan meninggalkan kesan pada bapak itu, meski belum sempat berbincang dengannya.
Lama setelahnya, Sholekan memberikan beberapa nama beberapa penyintas 65 yang ada di Semarang. Dan di situlah saya baru tahu nama bapak itu. Mbah Mukran, begitulah kami menyebutnya. Kemudian saya menghubungi Bowo untuk menanyakan kontak Mbah Mukran. Saya dapat nomornya. Selang beberapa menit, Bowo menelpon saya untuk mendiskusikan beberapa hal.
“Kamu kalau manggil jangan mbah, panggil Bung Mukran!”
Salah satu pesan yang dia sampaikan jika ingin menghubunginya. Katanya, dia akan agak tersinggung dan ceramah panjang jika kita tidak memanggilnya dengan sebutan bung. Saya menghubungi Bung Mukran pada tanggal 11 Maret 2019 untuk membuat janji bertemu dua hari kemudian. Bung Mukran menyepakatinya dan bersedia untuk dikunjungi pada sore hari. Sebenarnya saya sedikit canggung karena harus memanggilnya bung untuk orang yang jauh lebih tua dari saya. Tapi, ya begitulah.
Saya berangkat bersama Adiyat sedikit terlambat, karena Adiyat harus membelikan obat untuk ayahnya yang sedang sakit. Tidak ada alamat detil yang kami dapat, hanya patokan sebuah sekolah dan nama jalan, selebihnya Bung Mukran bilang, “tanya saja sama orang sana, mereka tahu saya”. Dan betul, sampai di sekitar sekolahan yang dia maksud, saya bertanya pada seorang ibu di warung makan. Dia tahu Bung Mukran, tapi tidak tahu detil rumahnya. Pertanyaan saya segera dijawab oleh ibu lainnya yang tahu rumahnya dengan rinci.
Setelah berkendara agak jauh (iya, warungnya agak jauh dari rumah Bung Mukran) dan sedikit tersasar sampai harus bertanya pada orang lagi, kami tiba di rumahnya. Kami disambut dengan anaknya. Anaknya segera menyusul Bung Mukran. Bung Mukran tiba, kami dipersilakan masuk. Mata saya langsung tertuju pada pigura bergambar Sukarno dan beberapa foto lama. Bung Mukran menyambut kami dengan ramah dan antusias.
“Ada maksud apa Bung kemari?”
Seolah dia tahu maksud kami untuk mendengarkan kisah-kisahnya di masa lampau. Tentu niat kami sebenarnya hanya untuk sowan, berkunjung biasa. Namun, Bung Mukran langsung banyak bercerita tentang pengalaman hidupnya. Usianya ternyata lebih tua dari perkiraan saya, yaitu sekitar 85. Dan dari sana kami tahu bahwa dia dulu terlibat aktif di beberapa organisasi yang terafiliasi atau dekat dengan PKI, seperti Pemuda Rakyat dan BTI. Dia sangat bersemangat bercerita. Benar-benar seperti seorang bung di masa revolusi Indonesia. Dia begitu berapi-api bercerita tentang masa mudanya yang mengorganisir para petani. Meski dia hanya tamatan Sekolah Rakyat dan tidak fasih menulis, dia bisa bercerita soal materialisme dialektika historis atau MDH, salah satu falsafah yang dipegang teguh oleh kader PKI atau organisasi yang terafiliasi dengannya.
Dari obrolan itu, kami juga tahu bahwa Bung Mukran dipenjarakan di Nusakambangan. Dia tidak bercerita secara rinci bagaimana dia mengalami siksaan di sana. Ada cerita menarik lainnya, seperti aktivitas olahraga di dalam penjara. Bung Mukran masuk ke dalam tim sepak bola para tahanan. Ternyata, sepak bola menjadi perlombaan yang diadakan rutin antar unit penjara. Namun entah mengapa, saya menangkap matanya sedikit basah ketika dia menceritakan kisah hidupnya, entah karena matanya yang menua atau karena ada kesedihan lain yang ditahan. Saya belum tahu.
Di usianya yang menua, Bung Mukran masih penuh optimisme. Dia selalu mengajak kita untuk berpikir kritis dan peduli pada yang lemah. Bung Mukran, mari bung! Perjuangan melawan penindasan masih panjang.
Salatiga, 17 Februari 2019