Blog

Blog

Apatis Bukan Putus Harapan : Catatan Perjalanan Part #1

Roda-roda terus berputar. Tanda masih ada hidup. Kar’na dunia belum henti. Berputar melingkar searah. Terik embun sejuta sentuhan. Pahit menganjuk pelengkap.Seribu satu perasaan Bergabung setangkup senada.- Apatis (Dinyanyikan pertama kali oleh Benny soebarja tahun 1978. Dinyanyikan oleh Ipang di tahun 2009 dan Mondo Gascaro di tahun 2019)

22 Januari 2019

Malam ini aku was-was ketika mendapat kabar kalau Ibu Mamik masuk ICU. Saat menerima kabar tersebut aku sedang bersama Adiyat, Sholekan dan Hilya. Kami sedang berbincang bersama Pak Wijayanto atau Pak Yanto di bengkel las beliau di Ambarawa. Pak Yanto dan Bu Mamik keduanya adalah korban peristiwa 65.

Bu Mamik adalah seorang guru di Jogjakarta yang harus dipenjara 14 tahun karena beliau aktif dalam organisasi guru. Karena kebesaran hati dan keberanian Bu Mamik, ia sering kali lantang bicara tentang apa yang terjadi pada dirinya saat peristiwa 65–66 pada khalayak umum. Ia bersama ibu-ibu lainya berkumpul dalam sebuah organisasi bernama “Kiprah Perempuan” di Jogja (Kipper). Walau kegiatan Kipper terlihat hanya arisan, cek kesehatan, ngobrol-ngobrol atau sekedar gosip, sebenarnya Kipper adalah ruang aktualisasi para perempuan korban untuk menemukan kembali diri mereka dan menyembuhkan diri dari trauma masa lalu. Buktinya mereka berhasil membuat 2 kali pergelaran teater pada tahun 2017 dan tahun 2018 .

Pak Yanto pada tahun 1965 masih berumur 9 tahun, namun ayah, ibu dan keluarga besarnya menjadi korban. Pak Yanto anak sulung dari 4 bersaudara tiba tiba harus jadi kepala keluarga. Ia juga sempat berpisah selama 10 tahun dari ibunya. Ibunya pergi. “Ibu saya minggat ke Sumatera, saya gak punya uang untuk cari ibu saya akhirnya saya cari cari nomor aja (nomor togel) siapa tau menang uangnya untuk ongkos cari Ibu saya.”  -  Wijayanto, 2019. Cerita itu mungkin saja belum pernah diceritakan oleh Pak Yanto sebelumnya. Entah kenapa aku senang sekali bisa sedikit demi sedikit mengenal Pak Yanto. Ternyata selama ini aku salah menilai beliau. Untuk beberapa orang ternyata sulit menunjukan siapa sebenernya dirinya, bagaimana ia bersikap terhadap suatu masalah ketika ada pertemuan bersama dalam satu kelompok besar.

Pak Yanto adalah ketua perkumpulan Setia Kawan Sejati (SKS) di Ambarawa. Kelompok SKS adalah kumpulan bapak-bapak korban peristiwa, baik dari generasi 1 ataupun generasi ke 2 (anak korban). Kelompok SKS ini agak berbeda dengan kelompok korban 65 yang lainya. Mereka berisi bapak-bapak pekerja yang kadang cuma butuh kumpul kumpul untuk sekedar bercerita atau berbagi kabar. Dulu mereka memiliki usaha bersama membuat susu kedelai bubuk. Namun karena kekuarangan sumber daya dan pengetahuan, pengelolaan usaha kelompol itu akhirnya mandek.

Jurang curam berkeliaran Tanda bahaya sana-sini Padang rumput lembut hijau Itu pun tiada tertampak

Jam 19.08. Grup Whatsapp tiba tiba ramai.

Ternyata kabar itu datang.

Perjalanan hidup Ibu Mamik di dunia,

sudah selesai..

Sudah lahir sudah terlanjur . Mengapa harus menyesal. Hadapi dunia berani Bukalah dadamu Tantanglah dunia Tanyakan salahmu wibawa

Lagu ini tak berhenti kuputar saat diperjalanan setelah mengantar Hilya dan Adiyat ke Hysteria. Lagu ini mengantarkan ku pada pikiran tentang kejutan kejutan kehidupan yang seringkali menganggu atau sering juga membantu.

Bu Mamik meninggal hari ini. Tapi semangat juangnya sudah sempat ia tularkan kepada kita semua. Aku bangga mengenal Pejuang Kehidupan yang terus menantang dunia untuk mengutarakan kebenaran tanpa takut. Aku bersyukur bisa belajar bahwa perjuangan hidup harus dimulai dari diri sendiri dan tentunya dengan membangun komunitas supaya kita tetap bisa bertahan jika sewaktu-waktu memori itu datang lagi. Menghadapi bersama tentu lebih ringan daripada sendirian. Terimakasih Bu Mamik karena keberanian yang sudah ditularkan. Terimakasih Bu. Sampai bertemu lagi ya…

Tapi aku rasa dunia belum berhenti hari ini.

Hari ini aku bertemu harapan baru. Semangat baru itu berasal dari Pak Yanto. Entah kenapa kali ini aku percaya bahwa Pak Yanto bisa berkerjasama dan pelan-pelan beliau akan membagikan cerita kebenaran yang ia simpan. Dari pengalaman bersama Pak Yanto hari ini , aku semakin menyadari bahwa Selama ini aku sering merasa terburu-buru. Takut waktu kerjanya tak cukup, was-was karena kelelahan menunggu.

Dulu, aku menganggap bahwa Pak Yanto tidak bersemangat dan tidak mau bekerjasama untuk membantu kami mendokumentasikan cerita korban dan anak-anak korban di Ambarawa karena tingkahnya yang cenderung apatis, dan hanya mencari bantuan ekonomi. Aku agak berjaga jarak dengan beliau. Aku lupa bahwa yang lebih penting adalah membuka diri, bersabar dan nikmati prosesnya, cari jalan baru jika jalan yang lain tertutup. Kadang kita akan menemukan cinta saat kita putus asa. Cinta akan datang diam-diam namun terasa.


Sudah lahir sudah terlanjur. 

Mengapa harus menyesal.

Hadapi dunia berani.

Bukalah dadamu Tantanglah dunia…