Blog

Blog

Cuaca Baik : Sebuah Refleksi Keikutsertaan dalam Program Humanity AJAR

Hidup adalah layaknya sebuah kapal, di cuaca yang baik kapal akan segera surut ke pantai sedangkan jika tidak bersahabat cuaca akan memperlambatnya. Kedua kemungkinan itu banyak datang bersamaan, berdinamika. Jika hidup saya ibarat kapal itu, maka perjalanan dalam program Humanity oleh AJAR ini adalah cuaca baik. Dari situ saya mendapatkan pengalaman yang berguna memaknai arti kemanusiaan dan hak asasi manusia.

Di masa lalu saya tidak pernah membayangkan akan terlibat dalam proses pembelajaran ini. Berawal dari seminar semasa kuliah saya kemudian belajar dalam tindak-tindak pendokumentasian cerita korban. Sebelumnya memang sudah beberapa kali terlibat dalam sebuah kerja-kerja penelitian advokasi namun hanya di tataran kampus. Dengan adanya ruang ini saya lebih terbuka dan tidak terjebak dalam menara gading sebagai mahasiswa yang bisa dikatakan kadang sentrumnya hanya di kampus dan terkesan ekslusif.

Humanity adalah sebuah program pendokumentasian cerita korban dengan menggunakan pendekatan keadilan transisi dan melibatkan anak muda. Hasil dari program ini kemudian diolah menjadi produk pemberlajaran dan juga karya seni audio visual. Saya sendiri terlibat dalam penelitian aksi partisipatif korban di Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan mengambil sebuah isu mengenai anak-anak yang di bawa ke Indonesia pada saat konflik Timor Timur tahun 1975 – 1999. Anak-anak tersebut atau Stolen Children telah melalui masa kecilnya dan hingga dewasa masih ada di Indonesia, terpisah dari keluarga dan budaya mereka. Setidaknya sudah dua puluh bulan terlibat dalam program ini.

Lalu pertanyaan paling penting adalah sudah sampai mana kapal itu berlayar?. Atau apa saja yang telah saya pelajari dari perjalanan ini. Setidaknya ada tiga pembelajaran besar yang didapatkan. Beberapa hal tersebut akan dijelaskan di bawah.

 

Pengetahuan Soal HAM dan Isu Stolen Children

Sebelumnya pengetahuan soal HAM saya hanya sebatas pemahaman yang didapati di mata kuliah dinamika hak asasi manusia. Hanya soal konvensi internasional dan berbagai problem HAM di berbagai belahan dunia, selebihnya saya dapatkan juga pada bacaan dan diskusi-diskusi soal HAM. Tentulah sangat dangkal, karena hanya berbicara banyak soal aksi afirmatif negara menanggulangi pelanggaran HAM misalnya ketika perang. Nyaris tanpa memperlihatkan bagaimana sebenarnya usaha-usaha tersebut sangat tidak cukup dalam memenuhi hak korban.

Di Indonesia sendiri, sejarah yang dikonsumsi adalah sejarah dominan yang dituliskan oleh yang memiliki kuasa. Nampaknya memang benar bahwa sejarah ditulis oleh para pemenang. Sejarah tersebut menjadi permasalahan ketika ia tidak menyematkan nilai-nilai kebenaran di dalamnya, berbagai kepentingan politik telah meleburkan nilai kebenaran tersebut. Oleh karena masalah tersebut, maka dibutuhkan sejarah alternatif, sejarah menurut perspektif korban.

Sejarah alternatif tersebut kemudian berusaha saya pelajari dalam program ini. Dari mulai HAM secara konseptual hingga praktik-praktik dalam mencapai keadilan. Dimana sebenarnya negara memiliki tanggung jawab dalam memenuhi, menghormati, dan melindungi hak asasi manusia warga negarannya. Juga yang paling penting pembelajaran mengenai perbedaan pelanggaran HAM dan tindak pindana, kebijakan-kebijakan negara terkait HAM, serta keadilan transisi.

Selain HAM secara konseptual, pembelajaran yang juga saya dapatkan adalah soal Stolen Children. Narasi mengenai isu ini sangat jauh dari jangkauan saya. Akses yang sulit bagi penyintas dan kurangnya desiminasi pengetahuan kepada publik menurut saya menjadi masalah utama jauhnya narasi tersebut. Namun melalui keterlibatan ini, narasi yang jauh tersebut, secara perlahan mulai dekat. Pendokumentasian cerita korban dengan mengungkap fakta dan pengalaman yang mereka alami selama konflik sampai sekarang mereka hidup di Sulawesi Selatan. Cerita mereka adalah simpul kacau yang tak berusaha diurai oleh yang berkuasa, namun berita baiknya mereka tetap kuat dan bertahan hidup. Simpul kacau tersebut menandakan bahwa hak-hak bagi mereka tak kunjung dipenuhi.

 

Pengetahuan Soal Metode Pengadvokasian Korban

Advokasi yang pernah saya kenal adalah metode advokasi mungkin yang paling banyak dilakukan. Mengumpulkan fakta-fakta dari korban kemudian mengaspirasikannya melalui aksi langsung. Namun di program ini saya belajar metode baru yakni menggunakan penelitian aksi partisipatif, dimana korban menjadi peserta penelitian secara aktif dengan menceritakan pengalaman mereka. Terdapat banyak metode yang digunakan baik itu batu bunga, kartu pos, alur waktu, foto bercerita, sungai kehidupan, peta tubuh, dan lainnya. Melalui metode itu maka akan didapatkan pengalaman kekerasan yang dialami korban, lini masa mereka dipindahkan, serta bagaimana keempat dimensi dalam keadilan transisi mampu dipenuhi dan mereka rasakan.

Di sinilah pembelajaran bahwa pendokumentasi dengan melibatkan korban secara aktif lebih efektif dan memperkuat jalinan antarkorban dapat terjadi, ketimbang dengan metode wawancara. Dalam metode ini pula korban akan lebih leluasa bercerita karena saling memiliki latar belakang pengalaman yang sama. Selain pemberlajaran dari cerita korban, saya juga belajar menjadi fasilitator. Melatih kemampuan dalam berbicara dan mengarahkan peserta dalam menjalankan metode, membangun empati, dan terutama belajar soal menjadi kuat. Dari situlah kemampuan dalam membangun hubungan dengan korban bukan hanya untuk kepentingan penelitian, tetapi untuk membantu korban berusaha mandiri dan mengungkap kebenaran.

 

Membuka Jaringan Solidaritas yang Lebih Luas

Dengan melibatkan anak muda dari berbagai wilayah di Indonesia maka secara tidak langsung juga akan membuka jaringan solidaritas yang lebih luas. Bertukar bahan pembelajaran, berdiskusi mengenai suatu hal, berbagi keikutsertaan dalam kegiatan, serta berbagi perspekti adalah hal yang di dapatkan. Jadi agak mudah dalam melihat isu secara kritis, karena latar belakang peserta program ada kesamaan. Meskipun dengan pandangan yang majemuk, tetapi semuanya yakin bahwa penegakan HAM masih tidak baik-baik saja. Saya banyak belajar soal perspektif mereka melihat sebuah permasalahan dan untuk merumuskan solusinya. Di sisi yang lain, pertemanan dengan mereka adalah sebuah hadiah tambahan.

Ketiga hal tersebut adalah pelajaran penting dalam proses saya mengenal isu kemanusiaan. Pembelajaran dalam Program Humanity adalah salah satu pengalaman besar dalam perjalanan hidup saya. Menjadi penting bahwa masa depan tanpa kekerasan adalah dapat diwujudkan, sebagaimana keadilan bagi para korban dapat ditegakkan.